Perang Salib (
bahasa Inggris:
Crusade, jamak:
Crusades) merupakan serangkaian kampanye militer berselang yang disahkan oleh beberapa
Paus pada
Abad Pertengahan, dari tahun 1096 sampai 1487. Pada tahun 1095 Kaisar Bizantium
Alexius I Komnenus mengirimkan seorang utusan dari
Konstantinopel kepada
Paus Urbanus II di Italia untuk meminta dukungan militer dalam konflik dengan
bangsa Turk di sebelah timur.
[1] Sang paus segera menanggapi dengan memanggil para tentara Katolik untuk bergabung dalam
Perang Salib Pertama. Tujuan jangka pendeknya adalah menjamin akses para peziarah ke tempat-tempat suci di
Tanah Suci
yang berada di bawah kendali penguasa Muslim. Tujuan jangka panjangnya
adalah menyatukan kembali cabang-cabang Timur dan Barat dari dunia
Kekristenan setelah
perpecahan mereka pada tahun
1054, dengan paus sebagai kepala Gereja yang dipersatukan. Dengan demikian terjadi suatu perjuangan yang kompleks selama 200 tahun.
Ratusan ribu orang dari berbagai negara dan kelas yang berbeda di
Eropa Barat menjadi tentara salib dengan mengambil suatu sumpah publik
dan menerima
indulgensi penuh dari gereja tersebut.
[2][3][4] Beberapa tentara salib adalah para petani yang berharap atas
pengilahian di Yerusalem.
[5] Paus Urbanus II mengklaim bahwa siapa pun yang ikut serta akan diampuni
dosa-dosanya. Selain menunjukkan pengabdian kepada
Allah, sebagaimana dinyatakan olehnya, keikutsertaan memenuhi kewajiban
feodal
dan berkesempatan memperoleh manfaat ekonomi dan politik. Para tentara
salib seringkali menjarah negara-negara yang mereka lalui dalam
perjalanan, dan berlawanan dengan janji-janji mereka, para pemimpin
tentara salib menguasai banyak dari wilayah ini bukan mengembalikannya
kepada Bizantium.
[3][6]
Perang Salib Rakyat memicu pembunuhan ribuan orang Yahudi, yang dikenal sebagai
pembantaian Rhineland. Konstantinopel
dijarah selama
Perang Salib Keempat, sehingga usaha penyatuan kembali dunia Kristen pada saat itu mustahil terjadi. Pengepungan tersebut mengakibatkan melemahnya
Kekaisaran Bizantium dan
akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan
Kesultanan Ottoman pada tahun
1453.
Para penguasa Eropa Barat tidak memberikan tanggapan yang jelas ketika
kubu pertahanan Katolik yang terakhir di wilayah tersebut,
Akko,
jatuh pada tahun 1291.
[7]
Ada beragam pendapat terkait perilaku tentara salib, mulai dari yang
sifatnya pujian sampai yang sangat kritis. Dampak dari perang-perang
salib sangat besar; mereka membuka kembali
Laut Mediterania untuk perdagangan dan perjalanan, memungkinkan perkembangan
Genoa dan
Venesia. Para tentara salib melakukan perdagangan dengan penduduk lokal selama perjalanan mereka, dan para kaisar Bizantium
Ortodoks
seringkali mengorganisir pasar-pasar bagi para tentara salib yang
bergerak melalui wilayah mereka. Perang-perang Salib menggabungkan
identitas bersama dari
Gereja Latin
di bawah kepemimpinan paus, dan dianggap sebagai suatu simbol
kepahlawanan, sikap kesatria, dan kesalehan. Hal ini karenanya
melahirkan sastra, filsafat, dan roman abad pertengahan. Bagaimanapun
berbagai perang salib semakin mengukuhkan hubungan antara
militerisme,
feodalisme, dan Katolikisme Barat, yang mana bertentangan dengan
Perdamaian dan Gencatan Senjata demi Allah yang dipromosikan Paus Urbanus.
[8]
Terminologi